A Miracle Invasion


 chapter 9

“Bertambah Banyak Pendukung“

Jimmy yang masih berusaha untuk mengejar lari Joe menuju kamarnya yang melewati 2 buah tangga itu. Meskipun masih kanak – kanak namun lari Joe cukup kencang juga, hingga Jimmy pun yang mengikutinya harus terpaksa sedikit terengah – engah. Ini membuat Jimmy sedikit kehilangan akal, namun dirinya harus tetap berusaha untuk meyakinkan Joe. Entah dengan cara apa dirinya dapat menenangkan Joe. Yang jelas asalkan Joe mulai mau mengerti dengan keadaan mommynya yang tengah mengandung adiknya sekarang itu dan setidaknya dirinya bisa menerima dengan tidak bertindak makin manja saja di hadapan mommynya. Namun begitulah Joe. Bukan dirinya bila dirinya begitu gampang untuk dirayu, sudah bawaannya sedari kecil jika dirinya sedikit hiperaktif juga keras kepala, tapi belum pernah dirinya separah ini dalam bersikap menghadapi orang tuanya. Aneh sekali. Apa mungkin anak sekecil dirinya sudah bisa merasakan kedengkian dan kekhawatiran akan kasih sayang orang tuanya berkurang setelah dirinya memiliki saudara lagi ? Sungguh mengherankan kalau pun benar ini terjadi di dalam pikirannya. Bagaimana bisa anak berusia 7 tahun bisa memiliki pikiran serumit dan sejauh itu ? Tidak ! Tidak ! Tidak ! Ini mudah – mudahan hanya pikiran Jimmy saja. Sekarang Jimmy yang harus bisa menemukan cara jitu untuk membujuk Joenya. Reputasinya dalam mengambil hati sang anak sedang dipertaruhkan saat ini juga. Jangan sampai dirinya mengalami kegagalan dalam hal ini. Akan betapa malu dirinya bila harus mengaku kalah di hadapan Jean sang istri bahwa dirinya tidak becus dalam mengarahkan Joenya. Bukankah dalam hal ini Jimmy yang terkenal lebih dekat dengan Joe dibandingkan dengan Jeannya semenjak Jimmy yang sekembali dari Kegiatan Sosialnya di Hong Kong dan Korea Utara.

                Jimmy pun telah memasuki lorong menuju kamar Joe yang berada tak jauh jadi kamar tidurnya dengan Jean. Jimmy pun mulai menarik napasnya perlahan. Berusaha menenangkan dan meyakinkan dirinya bahwa ini tak akan sulit dilakukan. Berpikir bahwa Joe sudah pasti akan mau untuk menuruti apa pun perkataannya demi sang mommy tercinta. Jim hafal sekali kalau Joe tipikal anak yang begitu menyayangi mommy melebihi dari apapun. Jimmy pun mulai melangkah perlahan setelah merapikan kemeja dan dasinya yang sedikit berantakan sebab harus berlari mengejar Joe menaiki tangga tadi. Joe pun mulai beraksi kembali dengan mengetuk pintu kamar Joenya. Dirinya pun mulai berucap kepada Joe meski masih dibatasi selapis kayu pemisah sebagai pintu itu. Jimmy pun terpaksa harus mengatakannya dengan cara ini, sebab sedari tadi Joe yang masih belum mau membukakan pintu sedikit pun untuk sang daddynya. Entah apa yang tengah dipikirkan Joe sekarang ini, apa sebegitu marahkah dirinya hingga – hingga dirinya tak ingin berbicara langsung dengan sang daddy yang sangat dihormatinya itu.

“Joe, mengapa kau menjadi nakal seperti ini, sich, Joe ? Apa kau tak merasa kasihan kepada Jean ? Setidaknya kau jangan bersikap kasar seperti itu kepadanya. Secara tak sadar, kalimatmu itu telah menyakiti Jean, sayang. Ayolah. Kumohon kau mau meminta maaf kepada Jean tentang hal ini. Kasu bisa, kan, melakukannya ?” Joe yang masih tak ingin berbicara kepada sang daddynya itu pun masih tetap diam membungkam mulutnya tanpa kata – kata. Nampaknya dirinya memang sedang betul – betul marah hingga tak mengindahkan apa yang dikatakan Jimmy kepadanya. Dirinya hanya berdiri menepis dan memojok di ujung pintu sambil mengerucutkan bibirnya pertanda dirinya yang sedang kesal. Namun Jimmy yang masih percaya bahwa Joe pasti tetap mendengarkan meskipun dirinya tidak membalas perkataannya pun tetap berusaha membujuknya agar Joe mau merajuk dan sadar diri bahwa apa yang dipikirkannya tentang kecemasan dan kekhawatiran mengenai kasih sayang yang akan berkurang itu tak berarti.

“Ayolah, Joe. Kau juga tak boleh terus mendiamkan Daddy seperti ini. Sampai kapan kau akan terus marah seperti ini ? Kalau memang kau masih belum ingin berbicara denganku. It’s okay, tak apa. Daddy bisa mengerti mungkin kau masih kesal dengan daddy yang memang terlambat memberitahumu tentang kau yang akan segera memiliki seorang adik, tapi kumohon kau harus tetap bersekolah hari ini. Jangan sampai kau mengorbankan sekolah dan belajarmu hanya karena masalah yang tidak begitu penting seperti ini. Ketahuilah bahwa ini adalah hal sepele, Joe. Baiklah, daddy pergi dahulu kalau begitu memang maumu. Yang jelas, daddy sudah katakan semuanya. Saat daddy kembali dari rumah sakit, kuharap kau sudah tidak seperti ini lagi, okay ? Daddy berangkat. Selamat pagi, Joe !” Jimmy pun akhirnya melangkah menjauh dari depan pintu kamar sang Jonasnya itu.

^Di Bawah, Jean yang tengah menunggu informasi mengenai Joe dari Jim di Meja Makan^

“Bagaimana, Jim ? Apa Joe masih marah kepadaku ?” tanya Jean cemas. Jimmy yang berjalan dengan lemas pun mebalas pertanyaan Jean dengan sedikit anggukan kecil pertanda bahwa Joe memang masih jengkel kepada mereka. Jean yang merasa bersalah itu pun hanya tertunduk lesu dan masih berdiri di depan kursi yang melingkar di meja makannya. Kali ini dirinya wanita yang juga ikut – ikutan tak bernafsu untuk makan. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk berangkat ke kantor masing – masing tanpa Joe. Sungguh – sungguh pembukaan hari yang memilukan. Dimana Jean yang seharusnya menikmati hari kerja pertamanya tanpa kehadiran Joe yang biasa membarinya dukungan dan keceriaan dalam mengisi kesehariaannya. Apa boleh buat. Mungkin memang sudah seharusnya mereka memberikan Joe sedikit jeda waktu untuk berpikir dan merenungi apa yang telah diperbuatnya. Apakah itu hal yang baik atau justru sebaliknya.

^Di sisi lain Jean dan Jimmy yang tengah berkendara untuk menuju ke kantor kerjanya, Joe justru mencoba menghubungi Rose untuk mencurahkan kekesalannya saat ini^

#Pukul 06:30 Pagi, Furui Inn and Resort.. Furui Apartment, 5D, Lantai 5, Kamar 405~

Joe yang sedang suntuk dan masih kesal terhadap kedua orang tuanya itu pun masih berada di dalam kamarnya. Mengurung diri sambil menggerayang pikirannya entah kemana membayangkan yang tidak – tidak bilamana dirinya kelak telah benar – benar memiliki adik. Mulai dari dirinya tak dianggap, dirinya yang tak memiliki waktu untuk bercerita lagi dengan sang daddy-mommynya, semuanya tentang dirinya yang selalu sendiri semenjak memiliki seorang adik. Mungkin bayangan inilah yang menjadikannya sedikit enggan untuk memiliki seorang adik. Dan oleh karena sikap temannya yang selalu memberitahukannya cerita – cerita bualan setelah memiliki seorang adik yang cenderung menakut – nakutinya. Namun dirinya tetap percaya saja malah. Hmm. Mengapa Joe bersikap aneh seperti ini. Bahkan ini bukan hal yang biasa lagi. Aneh menggunakan sekali, bukan ? Joe.. Joe ! Ada apa denganmu.

Mendadak Joe pun memiliki cara untuk pergi menghubungi Rose yang berada di Canada. Tampaknya ini bukan ide yang buruk menurutnya. Dirinya pun mulai membuka pintu kamarnya dan berjalan menuruni tangga untuk ke ruang tamu di lantai 4. Dirinya sudah tak sabar untuk menceritakan kekesalan yang tengah dirasakannya kepada sepupu perempuannya itu. Joe pun sedikit berlari kecil saking semangatnya. Di luar itu, Joe juga merasa akan sedikit lega bila dia bisa menghubungi Rose. Sekedar membagi cerita saja. Namun itu sudah membuatnya nyaman. Hanya Rose memang saudara satu – satunya yang dirinya punyai, selain itu dirinya akan bercerita kepada siapa lagi kalau bahkan asisten pribadi sang daddy-mommynya saja tidak ikut serta bersama mereka di Jepang ini. Lagipula mereka akan menetap di sini selama 4 tahun. Lumayan lama, bukan ? Tapi ini juga demi tugas sang daddy.Tentu sebagai seorang anak Joe akan mengikuti apa yang dilakukan orang tuanya. Kali ini Joe pun sudah bersiap – siap untuk menelepon Rose yang tengah berada di seberang sana. Dirinya yang telah menemukan kontak nomor kediaman paman Yong Hwa juga bibinya Seo Hyun pun segera mencatat di telapak tangannya dan mulai menekan keypad pada phonecell duduknya. Tak lama kemudian baru terhubunglah dirinya dengan suara Rose di seberang.

“Hallo, Rose. Ini aku Joe. Apa aku boleh bercerita ?” Suara lirih dan lesu Joe yang mulai menyambung lewat pesawat telepon kabel itu pun sukses melaju dengan sempurna hingga batas Benua kepada Rose.

“Iya, Joe. Ada apa ?” “Tidak. Bagaimana kabarmu ?”

“Oh, kabarku baik sekali, Joe. Bagaimana dengan kabarmu  di sana?”

“Tidak begitu menyenangkan. Maka dari itu aku ingin bercerita.”

“Hah ? Bagaimana bisa seperti itu. Kalau kabar antara paman Jim dan Bibi Jean ?”

“Ah. Tanpa ditanya pasti kabar mereka juga akan baik – baik saja.”

“Kenapa jawabanmu ketus begitu, Joe. Kau tidak boleh berkata seperti itu. Mau bagaimana pun, kau ini adalah putra mereka, jadi tak sepantasnya kau berkata seperti itu. Apa ada masalah di antara kalian ? Mungkin aku perlu memanggil dad-momku untuk ikut menyelesaikannya ?”

“Ah, tidak, tidak ! tidak perlu ! Aku hanya perlu berbicara denganmu saja, kogh”. Setelah beberapa detik Joe menarik napas perlahan pun akhirnya Joe melanjutkan pembicaraannya.

“Jean hamil lagi. Dia sedang mengandung adikku sekarang. Dan Jimmy terlambat mengatakannya kepadaku. Apa menurutmu itu kabar yang baik ?”

“Uwaaah!! Itu kabar yang sungguh menyenangkan ! Kapan Jean hamil ? Kenapa kau tak memberitahukannya kepadaku langsung ?”

“Ayaaah!! Ibuuu! Dengar, ya, bibi Jean hamil !” Mendadak pula Rose terdengar sedang meneriakkan suaranya ke entah ke arah mana yang jelas mengikuti keberadaan daddy-mommynya. Betapa girangnya dirinya yang mendengar berita ini hingga sampai – sampai dirinya melupakan Joe dalam sekejab yang tengah bercerita kepadanya tentang hal ini.

“Siapa sayang yang menelepon ?”

“Apa paman Jim yang menelepon ?”

“Lalu bagaimana kabar mereka sekarang di sana ?”

“Ibu juga ingin bicara kepada bibi Jean, bisa ?” berbagai kalimat pun merebah bagai gendang yang ditalu secara bertubi – tubi di telinga Joe. Sungguh nasib Joe yang malang. Tak satu pun yang sepihak dengannya. Dengan lesu akhirnya dirinya pun menutup teleponnya secara sepihak. Dan langsung beranjak kembali menaiki tangga menuju kamar tidurnya kembali.

^Di sisi lain, Jimmy dan Jean yang telah sampai berkendara di Haneda Airport^

Jimmy yang telah mengantar Jean sampai di depan kantornya. Sebenarnya dirinya masih ingin ngobrol banyak dengan sang istri, namun sebab dirinya yang harus segera menuju rumah sakit itu pun terpaksa mengurungkan niatnya.

“Sampai di sini, ya, Jean. Sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan. Tapi aku harus buru – buru ke rumah sakit . Ya sudah kalau tak ada lagi. Lekas berangkat, Jean. Awas hati – hati dalam beraktifitas. Sebab sekarang di sini sudah ada baby kita. Mengerti ?”

Jean pun tersenyum, “Hmm. Jangan khawatir dengan kehamilanku. Aku pasti bisa menjaganya. Kau juga hati – hati, ya ? Dan saat pulang nanti aku sangat berharap kalau Joe tak seperti itu lagi, marah padaku.”

“Heh! Jangan kau pikirkan yang bisa memberatkan dirimu seperti itu. Pikirkan yang baik – baik saja ! Aku harap Joe juga sudah mau kembali berbicara denganku, kita doakan untuknya yang terbaik saja. Baiklah kalau begitu aku pergi dulu”. Jimmy pun memerikan snap kissnya kepada Jean.

“Daa”

“Daa !”

“Aku akan menjemputmu pukul 04:00 sore!!!” kata Jim sambil sedikit berteriak sebab mobilnya yang mulai melaju menjauh dari kedudukan posisi Jean. Terlihat dari kaca spion kiri mobil Jim, Jean yang tengah mengacungkan jempolnya sambil menghadap ke arah mobil mereka berlalu. Dan kemudian berlalu begitu pula mobil Jim yang sudah tak nampak lagi.

About shiellafiollyamandasilaen

"Wish my creation can inspire a lot of people, at least they all whom are around me."
This entry was posted in NOVEL. Bookmark the permalink.

1 Response to A Miracle Invasion

  1. I just want to say I am just very new to blogging and really enjoyed you’re blog. Almost certainly I’m likely to bookmark your blog post . You really have superb posts. Thanks a lot for sharing your blog.

    Like

Leave a comment